Sabtu, 14 April 2012

MACAM-MACAM PENYAKIT PADA KUBIS

MACAM-MACAM PENYAKIT PADA KUBIS




Nama kubis diduga berasal dari bahasa Inggris yaitu cabbage. Di Indonesia, kubis sering uaga disebut sebagai kol. Tanaman kubis (Brassicae oleraceae) termasuk family Cruciferae, Klas Dicotyledoneae, Subdivisi Angiospermae dan Divisi Embriophyta (Pracaya, 2001). Kubis sebagai sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sebagai sayuran, kubis dapat membantu pencernaan, menetralkan zat-zat asam dan memperlancar buang air besar.

Tanaman kubis merupakan tanaman semusim yang di Indonesia banyak ditanam di daerah pegunungan, dengan ketinggian ±800 m di atas permukaan laut (dpl) dan mempunyai penyebaran hujan yang cukup setiap tahunnya. Sebagian kubis tumbuh baik pada ketinggian 100-200 m dpl, tetapi jumlah varietasnya tidak banyak dan tidak dapat menghasilkan biji. Pada daerah yang ketinggiannya di bawah 100 m, tanaman kubis tumbuh kurang baik. (Permadi dan Sastrosiswojo, 1993).

Pada umumnya kubis ditanam dengan pola tanam secara monokultur atau tumpangsari. Waktu tanam kubis yang paling baik adalah pada awal musim hujan atau awal musim kemarau. Meskipun demikian, kubis dapat ditanam sepanjang musim atau tahun asalkan kebutuhan airnya terpenuhi. Cara budidaya tanaman kubis adalah pengolahan tanah atau pembersihan gulma, penyulaman, pemupukan, pemanenan, dan pergiliran tanaman (Rukmana, 1994).

Secara umum, semua jenis kubis dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai jenis tanah. namun demikian, kubis akan tumbuh optimum bila ditanam pada tanah yang kaya akan bahan organik. Kecuali itu, dalam hidupnya kubis memerlukan air yang cukup, tetapi tidak boleh berlebihan. Artinya tanaman kubis akan mati bila kekurangan atau kelebihan air.

Realita yang ada, tidak semua petani di sentra pertanaman kubis menanam kubis. Keengganan petani menanam kubis dipicu leh alasan klasik, takut terserang hama dan penyakit. Tanaman kubis yang akan tumbuh baik pada kelembaban yang cukup tinggi (60-69%) dan suhu cukup rendah memang dapat memunculkan berbagai penyakit, terutama bakteri dan cendawan. Kedua patogen inilah yang merupakan patogen utama pada kubis (Pracaya, 2001).

Kerugian yang dapat ditimbulakan oleh penyakit kubis sangat besar nilainya. Terkadang serangannya sangat hebat sehingga terjadi gagal panen. Oleh sebab itu pengetahuan mengenali penyakit-penyakit pada kubis, gejala, dan cara pengendaliannya sangat penting. Pengetahuan ini khususnya penting diketahui oleh petani kubis atau petani yang tinggal di daerah yang cocok untuk pertumbuhan kubis agar mereka tetap mau menanam kubis dan paham cara pengendalian penyakitnya.








AKAR GADA

Clubroot atau Akar Gada merupakan penyakit terpenting pada tanaman kubis-kubisan yang disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae. Penyakit ini menyebar merata diseluruh areal pertanaman kubis di seluruh dunia khususnya di Eropa dan Amerika Utara. Penyakit ini sering dijumpai pada daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Hampir seluruh tanaman kubis-kubisan misalnya kubis, sawi putih, dan brussels sprout sangat rentan terkena akar gada.

Penyebab Penyakit

Akar gada menyebabkan kerusakan yang parah pada tanaman rentan tumbuh pada tanah yang terifeksi. Hal ini disebabkan patogen yang menginfeksi tanah ini tetap menjadi saprofit pada tanah sehingga kubis-kubisan kurang cocok lagi untuk dibudidayakan di tempat tersebut (Agrios, 2005).

Plasmodiophora brassicae yang menyerang kubis ini termasuk dalam kelas plasmodiophoromycetes. Fase somatiknya berupa plasmodium. Plasmodium tumbuh menjadi zoosporangium atau spora rehat. Pada saat perkecambahan, patogen ini membentuk zoozpora yang dapat berasal dari spora rehat. Zoospora tunggal dari spora rehat kemudian memenetrasi akar inang dan tumbuh menjadi plasmodium. Setelah beberapa hari, plasmodium membelah menjadi beberapa multinukleat yang dibungkus oleh membran sehingga sel-sel akar akan bertambah besar. Masing-masing bagian tumbuh menjadi zoosporangium. Setiap zoosporangium terdiri dari empat hingga delapan zoospora yang segera dilepaskan melalui pori-pori pada dinding sel tanaman inang.

Beberapa dari zoospora kemudian bersatu untuk memproduksi zigot diploid yang dapat menyebabkan infeksi baru dan plasmodium baru. Zigot ini terdiri dari nucleus yang dikaryotik. Selanjutnya nukleus ini mangalami fusi (karyogami) yang diikuti meiosis. Akhirnya plasmodium menjadi spora rehat yang akan disebarkan ke tanah dan dapat menginfeksi tanaman selanjutnya. Siklus dari patogen ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gejala Penyakit

Gejala yang khas pada tanaman yang terifeksi Plasmodiophora brassicae adalah pembesaran akar halus dan akar sekunder yang membentuk seperti gada. Bentuk gadanya melebar di tengah dan menyempit di ujung. Akar yang telah terserang tidak dapat menyerap nutrisi dan air dari tanah sehingga tanaman menjadi kerdil dan layu jika air yang diberikan untuk tanaman agak sedikit. Bagian bawah tanaman menjadi kekuningan pada tingkat lanjut serangan penyakit. Spora dapat bertahan di tanah selama 10 tahun, dan bisa juga terdapat pada rumput-rumputan.

Penyakit ini bisa menyebar melalui tanah, dalam air tanah, ataupun dari tanaman yang sudah terkena. Gejala pada permukaan atas tanah dapat dilihat dengan menguningnya daun. Layu pada siang hari dan akan segar kembali pada malam hari (gambar 2b). Tanaman akan kelihatan kerdil, tanaman muda yang terserang akan dengan cepat mati sedangkan tanaman tua dapat bertahan hidup namun tidak dapat menghasilkan krop yang dapat dipasarkan.

Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit

Penyakit akar gada berkembang dengan baik pada pH tanah 5,7. Menurun dengan drastis pada pH tanah 5,8-6,2 dan gagal berkembang pada pH 7,8. Perkecambahan spora terjadi pada pH 5,7-7,5 dan tidak akan berkecambah pada pH 8. Tetapi pH tanah yang rendah tidak menjamin terjadinya infeksi untuk semua kejadian. Kisaran temperatur yang optimum untuk bagi perkembangan P. brassicae adalah 17,8-25 oC dengan temperature minium 12,2-27,2 oC.

Kelembaban optimum selama 18-24 jam mengakibatkan perkecambahan dan penetrasi pathogen ke dalam inang kubis kemudian infeksi hanya terjadi jika kelembaban tanah di atas 45 % dan kelembaban di atas 50 % akan menyebabkan penyakit bertambah cepat. Kelembaban tanah di bawah 4 % dapat menyebabkan terhambatnya infeksi. Kelembaban yang tinggi dapat disebakan dengan meningkatnya curah hujan. Intensitas cahaya sangat berpengaruh pula terhadap perkembangan penyakit.
Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan serangan pathogen akan menurun, sebaliknya intensitas cahaya yang rendah dapat menyebabkan berkembangnya patogen dengan cepat sehingga penyakit akibat serangan patogen juga semakin besar.

Jumlah spora rehat akan menentukan tingkat infeksi pada inang. Susensi yang mengandung paling sedikit 106-108 sel spora setiap ml sangat efektif untuk mengadakan infeksi. Disamping itu, kondisi inang turut mempengaruhi perkembangan P.brassicae, seperti kisaran inang,inang yang rentan, dan morfologi dari sistem perakaran serta peran mikroba yang lain.

Siklus Penyakit

Perkembangan penyakit atau siklus penyakit dapat dijelaskan sebagai berikut. Plasmodium yang berkembang dari zoospora sekunder memenetrasi jaringan akar muda secara langsung. Hal ini dapat mempertebal akar dan batang luka yang terletak di bawah tanah. Setelah itu, plasmodium menyebar ke sel kotikal hingga ke kambium. Setelah seluruh kambium terserang, plasmodium kemudian menyebar ke korteks kemudian ke xilem. Patogen ini kemudian berkelompok membentuk gelendong yang meluas dan berangsur-angsur menyebar. Jumlah sel kemudian bertambah banyak dan membesar. Infeksi ini dapat menyebabkan sel 5-12 kali lebih besar dari sel yang tidak terinfeksi. Sel yang berkembang abnormal ini dapat menjadi stimulus bagi patogen untuk menyebar lebih cepat dan bahkan dapat menyebabkan sel yang awalnya tidak terifeksi menjadi terifeksi. Sel yang tumbuh abnormal ini dapat digunakan oleh plasmodium sebagai sumber makanannya. Skema perkembangan penyakit akar gada dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Siklus penyakit akar gada (Agrios, 2005)

Infeksi oleh plasmodium tidak hanya menyebabkan terjadinya pertumbuhan abnormal pada tanaman tetapi juga dapat menyebabkan terhambatnya absorbsi dan translokasi air dan nutrisi dari dan menuju akar. Hal ini menyebabkan tanaman kerdil san layu secara perlahan-lahan. Lebih lanjut lagi, pertumbuhan yang cepat dan sel yag membesar dapat menyebabkan tidak terbentuknya jaringan gabus dan dapat menyebabkan kemudahan bagi mikroorganisme lain untuk menginfeksi tanaman.

Strategi Pengendalian

Penyakit ini memiliki berbagai bentuk gejala serangan sehingga mendorong untuk memuliakan tanaman yang tahan terhadap penyakit ini. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan bibit yang bebas hama dan penyakit. Pergiliran tanaman kurang sesuai diterapkan untuk kasus ini karena sporanya dapat bertahan lama serta gulma yang dapat menyebabkan penyakit ini. Pengapuran tanah untuk meningkatkan pH menjadi 7.2 sangat efektif untuk mengurangi perkembangan penyakit. Penyiraman fungisida Promefon 250EC pada lubang tanam yang dicampur dengan air saat tanam juga dapat mengurangi perkembangan penyakit. Tanaman yang tahan haruslah diuji di beberapa lokasi karena jenis serangannya yang berbeda-beda di setiap lokasi (Arismansyah, 2010). Selain itu, penggunaan tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan teknik solarisasi juga teruji mengurangi penyakit dan meningkatkan hasil panen (Cicu, 2002).



Bercak Daun Alternaria

Bercak daun alternaria merupakan penyakit yang sering ditemukan pada berbagai jenis tanaman di seluruh dunia diantaranya kubis, tomat, kentang, kacang tanah, tembakau, geranium, apel, bawang, jeruk lemon, dll. Khusus untuk Alternaria pada kubis yang disebabkan oleh A. brassicae, pathogen ini sangat banyak tersebar di belahan bumi utara. Patogen ini sangat dipengaruhi oleh cuaca dengan penyakit tertinggi yang dilaporkan dalam kondisi musim hujan dan di daerah dengan curah hujan relatif tinggi (Agrios, 2005).

Penyebab Penyakit

Alternaria sp. mempunyai miselium berwarna gelap dan pada jaringan tua memproduksi konidiofor pendek, sederhana, dan tegak yang dapat menopang konidia. Konidia dari dari Alternaria sp. cukup besar gelap, panjang, multiselular, dan mempunyai sekat melintang dan membujur. Konidifor dari Alternaria. brassicae menghasilkan spora aseksual (konidia) dengan panjang rata-rata antara 160-200 μm. Sporulasi terjadi (in vitro) antara suhu 8 sampai 24 oC dimana spora dewasa dapat terbentuk setelah 14 sampai 24 jam.

Gejala Penyakit

Alternaria brassicae dapat mempengaruhi spesies inang pada semua tahap pertumbuhan, termasuk biji. Gejala yang ditimbulkan sering terjadi pada daun yang lebih tua, karena mereka lebih dekat dengan tanah dan lebih mudah terinfeksi sebagai akibat dari percikan hujan atau hujan ditiup angin. Akhir infeksi, atau infeksi daun yang lebih tua, tidak mengurangi karakteristik krop, dan dapat dikontrol melalui penghapusan intensif daun terinfeksi. Serangan pada tanaman di persemaian dapat mengakibatkan damping off atau tanaman kerdil. Bentuk bercak daun sangat beragam ukurannya dari sebesar lubang jarum hingga yang berdiameter 5 cm. Umumnya serangan dimulai dengan adanya bercak kecil pada daun yang membesar hingga kurang lebih berdiamter 1,5 cm dan berwarna gelap dengan lingkaran konsentris. Gejala ini sering disebut dengan browning. Pada kondisi cuaca yang lembab tampak bulu-bulu halus kebiruan di pusat bercak yang bercak tersebut sering terdapat cincin-cincin sepusat.

Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit

Angin yang sering timbul saat hujan dapat memperparah serangan penyakit. Alternaria brassicae penyebab bercak daun pada kubis-kubisan ini dapat menyebar cepat dengan bantuan angin. Serangan semakin parah bila cuaca lembap dan suhu antara 25 – 30oC. Temperatur optimum adalah antara 16 dan 24 oC dimana waktu sporulasi hanya berkisar antara 12 sampai 14 jam. Kelembaban pada kondisi hujan, embun, atau kelembaban yang tinggi sangat penting untuk infeksi. Hanya dengan waktu minimum 9-18 jam infeksi pada tanaman oleh A. brassicae dapat terjadi. Ketika terjadi penurunan suhu, jumlah waktu yang dibutuhkan untuk 98% dari spora untuk tumbuh meningkat (Stephen, 2000).
Alternaria brassicae tetap hidup untuk jangka waktu yang panjang sebagai spora pada kulit biji atau sebagai miselium dalam benih maupun di bagian atas tanaman terinfeksi. Sampel benih terinfeksi dengan Alternaria brassicae yang disimpan pada 0 oC selama empat belas bulan menunjukkan ketahanan pada benih. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa walaupun spora Alternaria brassicae terkena cuaca di luar ruangan untuk periode enam bulan di mana suhu berkisar antara 23 sampai 30 oC menunjukkan bahwa spora masih dapat tumbuh.

Alternaria brassicae juga dapat hidup dalam bentuk mikrosklerotia dan klamidospora yang muncul setelah terinfeksi daun yang sebagian membusuk. Mikrosklerotia dan khlamidospora dapat dibentuk dalam sel konidia. Mikrosklerotia dan khlamidospora berkembang dengan baik pada temperatur rendah (3 oC) dan tahan terhadap pembekuan dan desikasi (dalam studi in vitro). Klamidospora juga bisa berkembang dalam sel konidia di tanah alami pada suhu kamar. Biji yang terinfeksi, dengan spora dikulit biji atau miselium bawah kulit biji, mungkin sumber utama transportasi untuk patogen tersebut. Spora dapat disebarkan oleh angin, air, peralatan dan hewan. Cendawan dapat bertahan dalam gulma rentan atau tanaman tahunan.

Siklus Penyakit

Perkembangan penyakit atau siklus penyakit dimulai ketika konidia dari A. brassicae menempel pada permukaan inang. Konidia tersebut kemudian membentuk kecambah. Dalam satu konidia, kecambah yang terbentuk bisa lebih dari satu. Alternaria sp. dapat memarasit tanaman dengan dua cara yaitu dengan membuat penetrasi langsung pada inang yang berasal dari tabung kecambah atau masuk ke tubuh inang melalui luka. Penetrasi yang dilakukan sebagian besar dimulai pada daun. Miselium kemudian menyebar (invasi) ke sel daun secara interselular yaitu melalui ruang antar sel. Konidia baru kemudian banyak terbentuk di jaringan yang terinfeksi tersebut. Gejala kemudian menyebar ke batang sehingga menyebabkan batang damping off. Setelah ke batang, gejala kemudian menyebar ke seluruh bagian tumbuhan. Skema dari perkembangan penyakit dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Pengendalian Penyakit

Menurut Rebecca (2001), pengendalian terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan perlakuan kultur teknis dan kimia. Pengendalian dengan kultur teknis diantaranya:
Pengobatan dengan air panas: Perawatan benih dengan air panas adalah salah satu cara mengendalikan spora pada kulit biji. Namun, pengobatan ini kadang-kadang menekan perkecambahan.
Tanaman rotasi: Rotasi dengan tanaman bukan kubis dan pemberantasan gulma silangan dapat membantu mengendalikan patogen. Spora dapat bertahan pada jaringan daun selama 8 sampai 12 minggu dan batang jaringan sampai 23 minggu, pada bidang yang ditanam segera setelah panen sering bertepatan dengan jumlah besar inokulum yang kemungkinan yang berefek pada munculnya tanaman dan tahap pertumbuhan awal.

Biologi kontrol: Studi awal dengan jamur actinomycetes, Streptomyces arabicus, menunjukkan efek antijamur pada Alternaria brassicae pada laboratorium dan studi lapangan sehingga dapat menekan pertumbuhan spesies cendawan tersebut.

Pengendalian dengan cara kimiawi dapat dilakukan engan menggunakan fungisida. Tujuh fungisida sepenuhnya menghambat pertumbuhan patogen dalam budidaya adalah Benlate di 0,1 £ ai/100 gadis, Dithane-M 45, Dithane-Z 78, Ziram, Difolatan-80 dan Thiram (semua pada 0,2 £ ai/100 gal), dan Blitox-50 di ai/100 £ 0,3 gal. Sebagai fungisida benih, Benlate di £ 0,1 ai/100 benih lb memberikan kontrol yang terbaik dengan kerugian rata-rata sebelum munculnya bibit 4,5 dan 6,5 pasca-munculnya bibit per pot (25 biji ditanam dalam pot masing-masing, 8 pot). Dithane M-45 dan Dithane Z-78, baik diterapkan pada £ 0,2 lbs ai/100 benih, mengalami kerugian sebelum munculnya bibit rata-rata 10,5 dan 11,25, masing-masing dan pasca-munculnya bibit rugi sebesar 11,5 dan 13,75, masing-masing. Sebagai semprot daun, Dithane M-45 (0,2 £ ai/100 gal) memberikan kontrol yang lebih baik secara signifikan atas fungisida lainnya, termasuk Benlate. Dithane M-45 memberikan hasil yang lebih baik dari Dithane Z-78 (0,2 £ ai/100 gal), meskipun perbedaan itu tidak signifikan. Tanaman diperlakukan dengan fungisida kedua juga memberikan hasil biji tertinggi.

Iprodione dan fenpropimorph memiliki keduanya menunjukkan sifat hambat tinggi untuk pertumbuhan Alternaria sp. Dalam budaya dan sebagai perlakuan benih pada benih ai/100 £ 0,25 lb. Dalam sampel benih sampai dengan infeksi 61,5% (35,5% internal yang sakit), iprodione biasanya menghilangkan jamur dari sampel, tetapi tingkat yang lebih tinggi infeksi memerlukan dosis yang lebih besar iprodione. Perkecambahan biji yang sehat tidak terpengaruh oleh pengobatan, dan perkecambahan biji sakit ditingkatkan.


Busuk Hitam
Penyakit busuk hitam adalah salah satu penyakit yang paling merusak kubis dan silangan lain. Kembang kol, kubis, dan kale adalah salah satu silangan paling rentan terhadap busuk hitam. Brokoli, kecambah brussels, kubis cina, collard, kohlrabi, mustard, rutabaga, dan lobak juga rentan. Beberapa gulma silangan juga dapat menjadi inang patogen. Penyakit ini biasanya paling lazim di daerah yang rendah dan dimana tanaman tetap basah untuk waktu yang lama. Kondisi yang menguntungkan untuk tersebarnya bakteri menyebabkan kerugian total tanaman crucifer (Pracaya, 2001).

Bakteri banyak terdapat pada serasah dari tanaman yang terinfeksi, tetapi akan mati jika serasah tadi melapuk. Bakteri ini juga terdapat pada tanaman kubis-kubisan yang lain dan tanaman rumput-rumputan serta dapat pula terbawa benih. Bakteri ini berada pada tetesan butir air dari tanaman yang terluka serta dapat menyebar ke seluruh tanaman melalui manusia ataupun peralatan yang sering bergerak melintasi lahan saat kondisi tanaman sedang basah.

Penyebab Penyakit

Penyebab penyakit busuk hitam adalah Xanthomonas campestris pv. Campestris. Bakteri ini bersel tunggal, berbentuk batang, 0,7-3,0 x 0,4-0,5 µm, membentuk rantai, berkapsula, tidak berspora, bersifat gram negatif, bergerak dengan satu flagel polar.

Gejala Penyakit

Tanaman dapat terserang busuk hitam pada setiap tahap pertumbuhan. Pada pembibitan, infeksi yang pertama kali muncul dengan menghitamkan sepanjang kotiledon. Bibit terserang patogen akan berwarna kuning sampai coklat, layu, dan runtuh. Pada tanaman yang memasuki pertumbuhan vegetatif lanjut akan menunjukkan gejala kerdil, layu, daun yang terinfeksi berbentuk wilayah-V. Wilayah V ini kemudian membesar dan menuju dasar daun, berwarna kuning sampai coklat, dan kering. Gejala ini dapat muncul pada daun, batang, akar, dan berubah menjadi hitam akibat patogen yang berkembang biak. Daun muda yang terinfeksi mengalami pertumbuhan yang terhambat, warna kuning sampai coklat, layu, dan mati sebelum waktunya. Kadang-kadang, tanaman berpenyakit gundul memiliki panjang tangkai atasnya dengan seberkas kecil daun.

Bakteri ini dapat menyebar ke jaringan pengangkutan tanaman dan dapat berpindah secara sistematis dalam jaringan pengangkutan tanaman tersebut. Jaringan angkut yang terserang warnanya menjadi kehitaman yang dapat dilihat sebagai garis hitam pada luka atau bisa juga diamati dengan memotong secara melintang pada batang daun atau pada batang yang terkena infeksi. Busuk hitam juga dapat menyebabkan terjadinya busuk lunak.

Siklus Penyakit

Sumber utama bakteri untuk pengembangan busuk hitam di bidang produksi benih penuh, transplantasi terinfeksi, dan gulma silangan terinfeksi. Bakteri ini disebarkan dalam panen terutama oleh angin-angin dan percikan air dan oleh para pekerja, mesin, dan kadang-kadang serangga. X. campestris dapat bertahan hidup pada permukaan daun selama beberapa hari sampai tersebar ke hidatoda atau luka di mana infeksi dapat terjadi. Bakteri masuk ke daun melalui hidatoda saat memancarkan air melalui pori-pori di tepi daun pada malam hari, ditarik kembali ke dalam jaringan daun pada pagi hari (Soeroto, 1994).

Bakteri dapat masuk ke daun dalam 8 sampai 10 jam, dan gejala yang terlihat layu secepat 5-15 jam kemudian. Luka, termasuk yang dibuat oleh serangga makan pada daun dan cedera mekanik ke akar selama tanam, juga menyediakan situs masuk. Gerakan bakteri ke tanaman melalui hidatoda dibatasi dalam varietas tahan; akibatnya, ada situs infeksi yang lebih sedikit dan / atau bagian yang terkena jauh lebih kecil dalam varietas tahan daripada varietas rentan.

Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit

Pada kondisi yang hangat dan basah kerugian busuk hitam dapat melampaui 50% karena penyebaran penyakit ini. Hujan dan kabut tebal atau embun dan suhu hari 75° sampai 95° F yang paling menguntungkan bagi patogen. Di bawah dingin, kondisi basah infeksi dapat terjadi tanpa gejala perkembangan. Akibatnya, transplantasi tumbuh pada temperature rendah mungkin terinfeksi tetapi tanpa gejala. Bakteri tidak menyebar di bawah 50° F atau selama cuaca kering (Permadi,1993).

Strategi Pengendalian Penyakit

Menurut Rukmana (1994), pengendalian dapat dilakukan dengan pergiliran tanaman yang bukan jenis kubis-kubisan, sehingga akan memberikan waktu yang cukup bagi serasah dari tanaman kubis-kubisan untuk melapuk. Lalu menggunakan benih bebas hama dan penyakit yang dihasilkan di iklim yang kering. Hindari untuk bekerja di lahan saat daun tanaman basah. Tanamlah varietas kubis yang tahan terhadap busuk hitam. Penyemprotan bakterisida Kocide 77 WP sangat dianjurkan, terutama untuk budidaya di musim penghujan. Tanaman dan daun sakit dipendam dalam tanah. Menutup tanah dengan jerami untuk mengurangi penyakit.

Perlakuan benih dengan cara merendam benih dalam air hangat bersuhu 52ºC selama 30 menit. Tanaman yang terserang bakteri busuk hitam dicabut dan dimusnahkan. Dalam pemanenan kubis diikutsertakan dua helai daun hijau untuk melindungi krop. Pemanenan harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak terjadi luka. Daun-daun yang terinfeksi dikumpulkan untuk dimusnahkan (Soeroto,1994).


Busuk Basah

Bakteri penyebab busuk basah mempunyai kisaran inang yang luas di antaranya kubis, kentang, wortel, turnip, seledri, tomat, dan lain-lain. Panyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia dan dapat menyebabkan gejala serius pada krop di lapangan, di pengangkutan dan di penyimpanan. Perkembangan serangannya lebih banyak terjadi pada tempat penyimpanan atau pascapanen dari pada di lapangan. Pada penyimpangan, tanaman krop sehat yang mangalami kontak langsung dengan tanaman yang sakit dapat dalam beberapa jam saja dapat tertular penyakit busuk basah ini.
Penyakit busuk lunak ini telah menyebkan kerugian ekonomi yang besar akibat berkurangnya jumlah produksi yang dapat terjual: rendahnya kualitas; dan besarnya biaya pengendalian. Bakteri ini dapat mempertahankan diri dalam tanah dan sisa-sisa tanaman di lapangan.

Penyebab Penyakit

Erwinia carotovora merupakan bakteri berbentuk batang, bersifat gram negatif, umumnya berbentuk rantai, tidak berkapsul dan tidak berspora, dapat bergerak aktif dengan 2-5 flagella. Ukuran selnya 1,5-2,0 x 0,6-0,9 mikron (Permadi dan Sastroosiswojo, 1993). Suhu minimum untuk bakteri ini adalah 5oC, optimum 22oC, maksimum 37oC dan akan mati pada suhu 50oC (Agrios, 2005).

Gejala Penyakit

Gejala awal yang mucul pada tanaman berupa lesio gejala basah yang kecil dan diameter serta kedalamannya melebar secara cepat. Bagian tanaman yang terkena menjadi lunak dan berubah warna menjadi gelap apabila serangan terus berlanjut. Warna pada permukaannya menjadi hijau pucat dan mengkerut. Pada jaringan yang terinfeksi akan berwarna buram dan kemudian akan berubah menjadi krem dan berlendir. Jika hal ini terjadi, maka pada permukaan akan tampak cairan berwarna keruh. Perkembangan penyakit hingga tanaman membusuk hanya butuh waktu 3-5 hari. Tanaman yang terkena busuk lunak kemudian menimbulkan bau yang khas yang dimungkinkan oleh adanya perkembangan organisme lain setelah pembusukan terjadi.

Jika akar krop telah terserang, gejala kemudian dapat muncul pada batang berupa batang yang berair, hitam, dan berkerut. Hal ini juga menyebabkan tanaman kerdil, layu dan mati. Bakteri busuk lunak dapat timbul dari seresah tanaman yang telah terinfeksi, melalui akar tanaman, dari tanah, dan beberapa serangga. Luka pada tanaman seperti stomata pada daun, serangan serangga, kerusakan mekanis, ataupun bekas serangan dari patogen lain merupakan sasaran yang empuk untuk serangan bakteri (Agrios,2005).

Siklus Penyakit

Siklus penyakit atau perkembangan penyakit dapat dijelaskan sebagai berikut. Bakteri pada awalnya masuk ke luka pada tanaman. Luka ini dapat disebabkan oleh serangga tersebut mengimpan telurnya pada tanaman kubis sehingga menyebabkan luka. Bakteri setelah masuk akan makan dan membelah diri dengan cepat serta merusak sel di sekitarnya. Hal ini menyebabkan terbentuknya cairan. Selain tiu, bakteri ini menghasilkan enzim pektinase dan selulase. Enzim peptinase dapat menguraikan peptin yang berfungsi untuk merekatkan dinding sel yang berdampingan. Dengan terurainya peptin, sel-sel akan terdesintegrasi. Enzim selulase menyebabkan merusak selulosa dan melunakkan dinding sel. Akibatnya air dari protoplasma berdifusi ke ruang antar sel. Sel kemudian mengalami plasmolisis, kolaps, dan mati. Bakteri selanjutnya bergerak menuju ruang antarsel dan membelah diri sambil mengeluarkan enzimnya sehingga infeksi semakin besar.
Akibat dari hal tersebut di atas, jaringan yang terserang kemudian melunak, berubah bentuk, dan berlendir. Massa dari bakteri yang terdapat pada cairan dalam sel sangat banyak. Akibatnya jaringan gabus yang banyak terserag penyakit ini pun rusak sehingga lendir yang mengandung banyak bakteri tersebar ke dalam tanah atau dalam penyimpanan pasca panen. Hal ini memungkinkan bakteri mengadakan kontak dengan tanaman yang sehat sehingga tanaman sehat pun akan mengalami sakit. Skema yang menunjukkan perkembangan penyakit tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit

Terdapat beberapa hal yang dapat mendukung perkembangan penyakit diantaranya drainasi yang buruk pada pertanaman, kelembaban yang tinggi, curah hujan tinggi yang dapat menyebabkan bakteri tersebar dengan cepat, adanya sisa-sisa tanaman terinfeksi di sekitar daerah penanaman dan suhu yang rendah.

Kondisi yang menyebabkan perkembangan penyakit pada pasca panen adalah luka pada kubis. Jika luka ini mengadakan kontak dengan tanaman yang terserang, maka dengan mudah kubis yang luka ini akan terinfeksi E. carotovora.

Strategi Pengendalian

Pengendalian secara preventif bisa ditempuh melalui kebersihan lingkungan dan sistem budidaya. Menunggu tanah melapukkan sisa-sisa tanaman lama di lahan sebelum menanam tanaman selanjutnya sangat dianjurkan untuk mengatasi hal ini. Lahan harus memiliki drainase yang baik untuk mengurangi kelembaban tanah serta jarak tanamnya harus cukup memberikan pertukaran udara untuk mempercepat proses pengeringan daun saat basah. Pembuatan pelindung hujan dapat pula menghindari percikan tanah dan pembasahan daun yang akan mengurangi gejala busuk lunak. Penyemprotan bacterisida seperti Kocide 77WP dengan interval 10 hari sangat dianjurkan terutama saat penanaman musim hujan. Sanitasi, jarak tanam tidak terlalu rapat. Menghindari terjadinya luka yang tidak perlu dan pengendalian pasca panen


Kaki Hitam

Penyebab Penyakit

Penyakit kaki hitam disebabkan oleh pathogen Phoma Lingam yang merupakan patogen serius yang dapat menyebabkan penyakit kaki hitam, kanker , dan busuk kering brassicae dan silangan lain. Batang dibusukkan / penyakit penipu disebabkan oleh jamur Phoma lingam ascomycetes. Teleomorf dari penyebab penyakit Phoma lingam adalah Leptosphaeria maculans. Miselium bersekat bercabang-cabang, pada waktu muda hialin, kelak mempunyai dinding yang gelap Piknidia bundar untuk subglobose, kuning coklat sampai coklat hitam, subepidermal, terpisah, unilokular, 130-600 μm.. Bentuk dan ukuran piknidium sangat bervariasi. Biasanya berbentuk botol, berwarna gelap, kadang-kadang dengan paruh atau ostiola yang menonjol. Konidium (piknidiospora) hialin, tak bersekat, 1-2,5 x 3-6 µm. Konidium terkumpul di dalam piknidium, mongering dalam matriks yang seperti agar-agar. Jika terdapat air hujan atau embun, matriks meghisap air dengan cepatdan konidium mengembang dalam bentuk bulu atau benang panjang yang mengandung konidium dan matriks. Matriks akan larut dalam air sehingga konidium menjadi bebas (Tindall, 1987).

Gejala Penyakit

Gejala yang ditimbulkan penyakit kaki hitam oleh pathogen phoma lingam yaitu Noda pada batang dan daun, bulat telur sampai yg tersebar luas, pada awalnya kuning kehijauan, kemudian kelabu kuning, akhirnya abu-abu, depresi, dengan ungu ke perbatasan hitam. Kanker memanjang pada pangkal batang, mula-mula berwarna coklat muda, kemudian mejadi kehitaman, yang sering dikelilingi oleh batas berwarna ungu. Di bagian tengah luka terdapat titik-titik hitam yang terdiri dari piknidium jamur penyebab penyakit. Kanker dapat meluas sehingga batang bergelang, bagian dalam batang busuk kering berwarna coklat, mula-mula terdapat becak warna pucat dengan batas kurang jelas yang menjadi becak bulat dengan warna kelabu ditengah. Daun-daun yang layu biasanya tetap bergantung pada tanaman, sedangkan daun-daun yang masih segar sering mempunyai tepi berwarna kemerahan. Pada tanaman penghasil benih, penyakit dapat timbul pada polongan (buah), dan biji yang terinfeksi menjadi keriput. Perakaran yang sakit akan rusak sedikit demi sedikit sehingga tanaman menjadi layu dan kemudian mati (Anonim, 2008).

Siklus Penyakit

Penyebab penyakit ini mempertahankan diri dari musim ke musim dalam kulit biji dan dalam sisa-sisa tanaman sakit. Pada biji yang terinfeksi, tetapi masih dapat berkecambah, kulit biji akan terangkat ke atas tanah dan melekat pada salah satu keeping biji (kotiledon). Keping biji akan akan terinfeksi, jamur berkembang ke batang semai (hipokotil) sehingga semai mati. Semai seperti ini biasanya mati di persemaian tanpa diketahui, namun di sini jamur sempat membentuk tubuh buah (piknidium) yang menghasilkan konidium. Konidium hanya akan terbebas bila ada air, dan pemencarannya tergantung dari air hujan yang memercik. Air yang mengalir di permukaan tanah pun dapat mengangkut konidium dari sisa-sisa tanaman sakit ke persemaian.
Siklus penyakit dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit

Penyakit ini menyerang tanaman kubis pada kondisi tanah-tanah yang basa atau alkalis (pH lebih besar dari 6,5). Hujan dan basah cuaca, yang telah terjadi dalam beberapa hari sangat ideal untuk penyebaran jamur ini. Penyakit ini dapat bertahan hidup dalam residu tanaman setidaknya selama tiga tahun, sehingga rotasi selalu disarankan (menghindari silangan dalam rotasi sangat penting). Kondisi lain yang mendukung perkembangan penyakit yaitu tergantung dari curah hujan. Patogen juga
seedborne dan dapat disebarkan oleh angin dalam jarak jauh.

Strategi Pengendalian

Teknik pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit kaki hitam yaitu pemencaran penyakit ke daerah yang belum terjangkit harus dicegah, menanam benih yang sehat yang dihasilkan oleh daerah-daerah yang kering, khususnya yang mempunyai cuaca kering pada waktu tanaman membentuk buah. Sanitasi pertanaman, sisa-sisa tanaman, khususnya tanaman sakit, dipendam dalam tanah cukup dalam, agar tidak menjadi sumber infeksi bagi pertanaman yang akan datang atau pertanaman sekitarnya. Tidak membuat persemaian di tanah yang mungkin mengandung penyebab penyakit, di daerah yang sudah terjangkit dan penggunaan fungisida secara efisien (Anonim,2009).

Tanah yang memiliki pH di ata 6,5 perlu penanganan dengan pengapuran pada tanah asam atau pemberian pupuk belerang (S) untuk tanah basa. Kebutuhan kapur pertanian untuk menaikkan tanah tergantung dari jenis tanah dan derajat keasaman tanah. Untuk lahan kering sekitar 4 ton/hektar, sedangkan pada tanah gambut mencapai 19 ton/hektar. Pada tanah-tanah basa, misalnya pH 8,5-9,0 dapat diberikan tepung belerang atau gipsum sekitar 6 ton/hektar untuk menurunkan pH mendekati netral.

Pembahasan Umum

Penyakit-penyakit pada kubis yang telah disebutkan diatas, secara garis besar disebabkan oleh dua patogen yaitu cendawan dan bakteri. Untuk dapat membedakan secara langsung dari seluruh gejala, pengendalian teknis yang tepat, dan bakterisida yang dapat digunakan maka pada sub bab ini akan dijelaskan perbedaan dari keseluruhan penyakit untuk masing-masing patogen.

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan ada tiga yaitu akar gada, bercak daun, dan kaki hitam. Dari tiga penyakit ini, penyakit terbesar disebabkan akar gada. Hal ini disebabkan karena penyakit ini berkembang dengan sangat cepat di area pertanaman kubis dan dapat bertahan selama 10 tahun di dalam tanah. Akar yang membengkak menyebabkan pengangkutan nutrisi terhambat. Gejala ini sangat berbeda dengan dua penyakit lainnya oleh cendawan. Contohnya penyakit bercak daun yang gejalanya berawal dari daun bukan dari akar. Gejalanya pun sangat khas yaitu berupa bercak konsentris kecil berwarna gelap kemudian membesar pada daun. Bercak yang terjadi di daun pada penyakit kaki hitam pun berbeda. Bercak yang ditimbulkan berwarna kuning, berkembang menjadi abu-abu kemudian ungu kehitam-hitaman. Bercak oleh penyakit kaki hitam ini dapat meluas ke batang berupa “kanker” memanjang berwarna hitam.

Pengendalian secara kultur teknis untuk ketiga penyakit oleh cendawan ini un meiliki perbedaan. Pengendalian untuk mengatasi penyakit akar gada salah satunya dengan pemberian kapur atau pupuk pada area pertanaman sehingga pH meningkat hingga 7,2. Pada pH ini, perkecambahan cendawan akan terhambat sehingga serangan peyakit dapat berkurang. Hal ini sangat berbeda dengan penyakit kanker batang yang disebabkan oleh Phoma lingam. Cendawan penyakit ini akan menyerang tanaman dan berkembang baik pada tanah-tanah yang basah dengan pH di atas 6,5. Sehingga pengendalian kultur teknis yang di lakukan kebalikan dari pengandalian pada penyakit akar gada. Pengendalian dilakukan dengan pemberian pupuk belerang pada tanah basa sehingga pH turun. Namun pemupukan belerang juga jangan berlebihan. Jika ini terjadi maka pH tanah akan rendah sehingga tanah masam yang menyebabkan pertumbuhan kubis terhambat.

Pengendalian yang tepat untuk penyakit bercak daun alternaria adalah dengan melakukan rotasi tanaman. Hal ini cukup efektif jika dilakukan karena patogennya hanya dapat bertahan paling lama 23 minggu. Rotasi tanaman ini cukup tepat pula untuk pengendalian kaki hitam. Namun untuk penyakit akar gada kurang tepat karena P. brassicae dapat bertahan selama paling lama 10 tahun dalam tanah. Sanitasi area penanaman dan irigasi yang baik sangat penting untuk pengendalian tiga penyakit oleh cendawan di atas. Hal ini disebabkan karena patogen dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman dan dapat berkembang dengan cepat pada daerah air yang tergenang. Pengendalian dengan bahan kimia untuk setiap penyakit dapat menggunakan fungisida promefon 250 EC.
Secara umum, perbedaan antara ketiga penyakit pada kubis di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Penyakit pada kubis oleh patogen bakteri yang dibahas ada dua yaitu busuk hitam dan busuk basak. Kerugian terbesar antara kedua penyakit ini adalah penyakit busuk basah oleh E. carotovora. Kerugian yang besar ini terjadi pada pengangkutan pascapanen. Bakteri ini akan dengan cepat menyebar melalui luka dari krop kubis yang sakit ke krop kubis yang sehat. Gejala khas yang membedakan antara busuk hitam dengan busuk basah adalah pada busuk basah terjadi pelunakan hingga berledir kemudian berbau akibat asosiasi dengan mikroorganisme lain. Gejala ini tidak ditemukan pada busuk hitam. Gejala khas di daun pada penyakit busuk hitam yang dapat membedakannya dengan penyakit lain adalah bercak kuning berbentuk V. Bercak ini kemudian dapat menyebar ke seluruh daun dan tanaman. Bakteri dapat pula menyebabkan pembuluh menghitam, pengangkutan nutrisi terhambat, dan krop hitam.

Pengendalian yang cocok untuk mencegah terjadinya busuk hitam adalah dengan rotasi tanaman. Hal ini disebabkan bakteri dapat bertahan selama 3 tahun di area infeksi. Sedangkan untuk busuk basah lebih pada sanitasi sisa-sisa tanaman di sekitar daerah penanaman, menjaga kelembaban dengan mengatur jarak tanam, dan yang terpenting mengindari luka pada pascapanen. Sanitasi dan penggunaan benih yang sehat juga efektif untuk pengendalian penyakit busuk hitam dan busuk basah. Pengendalian dengan kimia untuk kedua penyakit dapat menggunakan bakterisida Kocide 77WP. Namun pengendalian dengan bakterisida sebisa mungkin dihindari dan lebih mengutamakan pengendalian kultur teknis (Agrios, 2005).

Secara umum, perbedaan antara kedua penyakit pada kubis di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

KESIMPULAN

Patogen utama penyebab penyakit pada tanaman kubis berasal dari cendawan setelah itu bakteri. Penyakit ini akan menyebar dan berkembang dengan baik pada saat musim hujan dimana kelembaban cukup tinggi dan pada saat suhu rendah. Sanitasi dan rotasi tanaman sangat penting sebagai pengendalian secara kultur teknis untuk menghindari tersebarnya penyakit ini kecuali pada penyakit akar gada. Hal ini disebabkan karena spora pada akar gada dapat bertahan lama pada tanah.

Secara umum, patogen dapat menyerang dapat menyerang pada berbagai tingkat tanaman. Penyakit yang menyebabkan kerugian terbesar pada saat pascapanen adalah busuk lunak oleh bakteri Erwinia carotovora. Untuk mencegah tersebarnya penyakit ini perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi luka pada krop kubis. Penyakit yang menyebabkan kerugian yang tidak terlalu besar di Indonesia adalah penyakit kanker batang. Hal ini disebabkan karena patogen penyebab penyakit ini akan berkembang baik pada tanah basa sedangkan tanah di Indonesia sebagian besar tanah asam.

Daftar Pustaka

Agrios, George W. 1997. Plant Pathology Fourth Edition.New York: Academic Press.

Arismansyah, Erlan Ardian. 2010. Penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor) pada kubis-kubisan dan upaya pengendaliannya. [terhubung berkala].http://erlanardianarismansyah.wordpress.com/2010/01/07/penyakit-akar-gada plasmodiophora-brassicae-wor-pada-kubis-kubisan-dan-upaya pengendalian-nya. [5 April 2010].

Campbell, NA, dkk. 2000. Biologi Edisi Lima. Rahayu Lestari, dkk, penerjemah; Amalia Safitri, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology 5th Edition.

Cicu, 2002. Pengelolaan Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae) pada Tanaman Kubis dengan Tanaman Perangkap dan Perlakuan Tanah Pembibitan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Mangun, Wardoyo. 2009. Busuk Hitam Kubis. [terhubung berkala]. http://journal.ui.ac.id /…/ Transformasi%20fragmen_Mangunwardoyo.pdf. [17 Mei 2010].
Permadi, A. H. dan S. sastrosiswojo.1993. Kubis. Kejasama antara Badan Penellitian dan Perkembangan Pertanian. Lembang: Balai Penelitian Holtikultura.

Pracaya, Ir. 2001. Kol alias Kubis Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rebecca A. Boley. 2003. Educational Specialist Plant Pathology. Manoa: University of Hawaii.

Rumahlewang, Wilhemnia. 2008. Penyakit-Penyakit Penting Tanaman Kubis. [terhubung berkala]. http://kliniktanaman.blogspot. com/2008/12/penyakit-penyakit-penting-tanaman kubis.html.[2 April 2010]

Rukmana, R. 1994. Bertanam Kubis. Yogyakarta: Kanisius.

Soeroto, dkk. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan Secara Terpadu pada Tanaman Kubis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman.

Stephen, A Ferreira. 2006. Extension Plant Pathologist.

Tindal, H.D. (1987). Zwartrot van kool. Landblouw 21:259.

0 komentar:

Poskan Komentar


Ikuti Saya ^___^

visitors

Recent Comments

 
Icon
1 Online
Terjemahkan
ChatJoin Chat
PLANT PROTECTION Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon blogger template for web hosting Flower Image by Dapino

Isolasi Gen Resisten terhadap Penyakit CVPD

Isolasi Gen Resisten terhadap Penyakit CVPD

Gen resisten dapat diisolasi dari tanaman jeruk yang tahan terhadap serangan penyakit CVPD
Isolasi Gen dapat dilakukan dengan metode T-DNA Tagging menggunakan vektor Agrobacterium tumefaciens
Transformasi genetic pada tanaman jeruk dapat dilakukan secara in vitro dan in planta
Berbagai jenis tanaman jeruk yang dibudidayakan secara ekonomis diketahui peka terhadap serangan penyakit CVPD. Jenis-jenis tanaman jeruk budidaya yang peka terhadap serangan cvpd untuk selanjutnya disebut tanaman jeruk CVPDs. Tanaman jeruk Garut dan jeruk Tejakula yang sangat terkenal sekarang sudah sangat sulit ditemukan di lapangan dan kalaupun ditemukan telah terinfeksi berat oleh penyakit CVPD. Dewasa ini belum ditemukan cara pengendalian penyakit cvpd ini secara baik, karena berbagai kendala yang masih dihadapi seperti: belum dapat dibiakkannya patogen penyebab penyakit pada media buatan, sehingga sulit untuk melakukan karakterisasi terhadap sifat-sifat patogennya akibatnya sulit untuk mengetahui mekanisme infeksi tanaman oleh patogen yang pada akhirnya sulit untuk merumuskan teknik pengendaliannya.
Sebaliknya, telah dilaporkan bahwa beberapa jenis tanaman jeruk, terutama tanaman jeruk yang tidak dibudidayakan secara ekonomis dan beberapa tanaman kerabatnya, diketahui ada yang toleran (tahan) terhadap penyakit CVPD. Jenis tanaman jeruk dan kerabatnya yang toleran (tahan) CVPD ini untuk selanjutnya disebut tanaman jeruk CPVDr. Diantaranya “Seedless lime” (jeruk nipis tanpa biji), Tahiti lime, Triphachia trifoliata (jeruk kinkit), dan Poncirus trifolia (karatachi). Tanaman jeruk yang toleran (tahan) terhadap CVPD (CVPDr) diyakini mengandung gen atau gen-gen yang produknya mampu mematahkan infeksi oleh patogen CVPD (L. asiaticum) atau mampu menolak penularan patogen yang dibawa oleh serangga vektor D. citri.
Berdasarkan informasi ini, pertama; Wirawan, dkk, 2000, menguji ulang ketahanan terhadap CVPD dari beberapa jenis tanaman CVPDr dengan cara penularan penyakit menggunakan vektor serangga Diaphorina citri. Seleksi dilakukan secara sangat ketat yaitu baik secara visual dengan mengamati gejala yang muncul maupun menggunakan deteksi PCR (Polimerase Chain Reaction) terhadap keberadaan patogen pada tanaman yang diuji. Kemudian dari tanaman-tanaman CVPDr yang terseleksi dilakukan mutasi, dengan metode transformasi menggunakan sistem Agrobacterium tumefaciens baik secara in vitro maupun secara in planta.
Secara in vitro transformasi genetik dilakukan melalui kultur sel, potongan daun, ruas ranting muda (internode stem), biji, dan potongan kecambah steril dari tanaman CVPDr (dalam hal ini digunakan jeruk kinkit dan karatachi). A. tumefaciens LBA (pAL4404, pIB121) diinokulasi pada bahan-bahan tanaman tersebut untuk kemudian ditumbuhkan pada media kultur jaringan (MTO atau MTOK). Transformasi secara in planta dilakukan dengan menginokulasi A. tumefaciens LBA (pAL4404, pIB121) pada pucuk tunas yang dipotong pada bibit muda tanaman jeruk kinkit atau karatachi.
Ti Plasmid biner pIB121, mengandung fragmen DNA yang terdiri dari gen untuk ketahanan terhadap kanamisin, dan gen ß-glucuronidase (GUS) yang diklon bagian “downstream” 35S CaMV promoter-nya (Jefferson, et al, 1987; Ohta, et al, 1990; Wirawan and Kojima, 1996). A. tumefaciens akan mentransfer fragmen DNA ini ke dalam sel-sel tanaman jeruk kinkit atau karatachi yang dapat dideteksi dengan media seleksi yang mengandung kanamisin, dan dengan deteksi PCR menggunakan sekuen gen GUS sebagai primernya, serta dengan cara mendeteksi ekspresi gen GUS pada transforman yang dihasilkan. Mutasi dengan sistem A. tumefaciens pada genom tanaman CVPDr (kinkit atau karatachi) menonaktifkan gen-gen yang termutasi yang diantaranya adalah gen atau gen-gen yang bertanggungjawab pada toleransi (ketahanan) tanaman terhadap serangan penyakit CVPD. Dengan demikian loci gen-gen ini dapat diidentifikasi dan diisolasi serta dapat klon untuk dikharakterisasi sifat-sifatnya dan dimanfaatkan dalam penanganan penyakit CVPD.
Transforman atau mutan tanaman jeruk CVPDr yang dihasilkan, diinokulasi dengan Diaphorina citri infektif (membawa bakteri L. asiaticum, penyebab CVPD). Mutan-mutan yang menunjukkan gejala serangan CVPD (disebut CVPDr-s) diseleksi, dan keberadaan L. asiaticum pada mutan tanaman jeruk CVPDr-s dideteksi dengan metode PCR menggunakan sekuen 16S ribosomal DNA yang spesifik untuk L. asiaticum sebagai primer. Loci gen-gen yang tahan CVPD diisolasi dari mutan tanaman CVPDr-s ini menggunakan metode inverse PCR (IPCR) atau plasmid rescue.
Wild type target DNA dari tanaman induk dideteksi dan diisolasi menggunakan metode PCR menggunakan primer yang dirumuskan berdasarkan sekuen dari flanking DNA produk IPCR. Konfirmasi terhadap hasil PCR ini dilakukan dengan metode Southern Blot menggunakan fragmen flanking DNA atau produk PCR diatas sebagai probe.
Penelitian dilakukan berdasarkan pengalaman penelitian sebelumnya dalam mentrasfer gen acvB yang diisolasi dari khromosom A. tumefaciens strain A208 (DDBJ accession number D13800 (Wirawan, et al, 1993) ke dalam sel-sel tanaman tembakau dan tomat dapat menunjukkan hasil yang sangat baik. Disamping itu hasil penelitian Moore dan kawan-kawan menunjukkan bahwa transformasi tanaman jeruk menggunakan sistem Agrobacterium ini dapat berhasil dengan baik (Moore, et al, 1992).
Uji ketahanan terhadap serangan penyakit CVPD
Beberapa jenis tanaman jeruk dan kerabatnya diuji ulang ketahanan atau kepekaannya terhadap serangan penyakit CVPD. Beberapa tanaman ini sebelumnya dilaporkan memiliki sifat toleran (tahan) terhadap serangan penyakit CVPD (De Lange, et al, 1985; Nariani, 1981; Tirtawidjaya, 1981). Hampir semua tanaman yang diuji menunjukkan gejala serangan penyakit CVPD artinya tidak tahan terhadap penyakit CVPD, seperti yang ditunjukkan oleh tanaman Kemuning (Murraya Paniculata), jeruk siem Kintamani, jeruk keprok Tejakula, Nagami kinkan, Sour Orange dan lainnya. Analisis PCR untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit CVPD memastikan bahwa tanaman-tanaman tersebut peka terhadap serangan penyakit CVPD. Tanaman jeruk kinkit, jeruk nipis tanpa biji dan karatachi (Poncirus trifolia) menunjukkan ketahanan terhadap serangan penyakit CVPD. Sehingga kemudian diputuskan untuk memilih jeruk kinkit dan karatachi sebagai tanaman toleran yang diteliti lebih lanjut.
Kemuning (Murraya paniculata) bahkan sangat disenangi oleh serangga vektor D. citri dan menunjukkan gejala serangan penyakit CVPD lebih cepat dibandingkan dengan tanaman lainnya. Sehingga kemuning banyak digunakan sebagai tanaman indikator dan tanaman yang digunakan untuk memelihara serangga vektor D. citri.

Gambar 1. Jenis-jenis tanaman jeruk yang diuji ketahanannya terhadap penyakit CPVD.

Gambar 2. Analisis PCR tanaman-tanaman yang diuji ketahanannya terhadap serangan penyakit CPVD. 1. Marker DNA, 2. DNA dari tanaman jeruk sehat, 3. DNA dari tanaman jeruk sakit, 4. DNA dari tanaman kemuning yang menunjukkan gejala, 5. DNA dari tanaman Sour Orange yang menunjukkan gejala, 6. DNA dari tanaman Nagami Kinkan yang menunjukkan gejala, 7.DNA dari tanaman jeruk Kinkit, dan DNA dari tanaman jeruk nipis tanpa biji.

Gambar 3. Tanaman jeruk Kinkit dan Jeruk Nipis yang diujikan.
Tahap-Tahap Prosedur Isolasi Gen Resisten Penyakit CVPD
  1. Uji ketahanan tanaman jeruk kinkit dan karatachi serta tanaman jeruk budidaya (siem dan keprok) terhadap serangan penyakit CVPD dengan cara penularan mengunakan serangga vektor D. citri
  2. Deteksi PCR untuk memastikan serangan penyakit CVPD pada tanaman yang diuji.
  3. Jeruk kinkit dan karatachi dipilih sebagai tanaman yang toleran terhadap serangan penyakit CVPD (CVPDr)
  4. Transformasi genetik secara in vitro atau in planta pada tanaman jeruk kinkit dan karatachi
  5. Seleksi transforman (tanaman yang termutasi)
  6. Uji ketahanan terhadap serangan penyakit CVPD untuk tanaman-tanaman termutasi (transforman)
  7. Seleksi yang menjadi peka terhadap serangan penyakit CVPD (CVPDr-s)
  8. Inverse PCR (IPCR) untuk isolasi flanking DNA termutasi dari mutan tanaman jeruk kinkit CVPDr-s.
  9. Kloning produk IPCR (flanking DNA termutasi) pada vektor plasmid
  10. Sekuen fragmen DNA produk IPCR
  11. Formulasi primer untuk deteksi wild type target DNA yang mengandung gen untuk ketahanan terhadap serangan penyakit CVPD
  12. Deteksi dan isolasi serta kloning wild type target DNA yang mengandung gen untuk ketahanan terhadap serangan penyakit CVPD
  13. Analisis sekuen klon wild type target DNA yang mengandung gen untuk ketahanan terhadap serangan penyakit CVPD dan penentuan ORF (open reading frame) dari gen gen untuk ketahanan terhadap serangan penyakit CVPD (gen CVPDr)
  14. Over expression (produksi protein) gen CVPDr pada sel Escherichia coli
  15. Analisis fungsi protein yang dihasilkan oleh gen CVPDr dalam mekanisme ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit CVPD
  16. Pembuatan tanaman jeruk transgenik menggunakan gen CVPDr
  17. Uji ketahanan tanaman jeruk transgenik dengan gen CVPDr terhadap serangan penyakit CVPD

Gambar 4. Metode mutasi dengan TDNA Tagging untuk mendapatkan tanaman jeruk Kinkit yang menjadi tidak tahan terhadap penyakit CPVD. Click disini untuk animasi gambar 4.

Gambar 5. Regenerasi mutan tanaman jeruk CVPDr-s dengan metode transformasi Agrobacterium tumefaciens. Click disini untuk animasi gambar 5.

Gambar 6. Uji ketahanan terhadap antibiotik kenamisin tanaman transforman. Daun tetap hijau menunjukkan bahwa tanaman tersebut tahan terhadap kenamisin, sedang daun yang berubah menjadi coklat menunjukkan tidak tahan. Daun tersebut direndam dalam larutan kenamisin 100 ppm selama 5-9 jam.

Gambar 7. Deteksi ekspresi gen GUS (β-glucurodinase) dan deteksi keberadaan gen GUS dengan teknik PCR pada transforman tanaman jeruk Kinkit. A. Deteksi pada ekstrak tunas, 1. Ekspresi gen GUS pada mutan CVPDr-s , 2. Tidak dideteksi adanya ekspresi gen GUS pada beberapa tunas walau tahan pada kenamisin, 3. Uji pada tunas kontrol (non-transformed). B. Deteksi gen GUS pada potongan tunas dalam mikrotiter. C. Deteksi dengan teknik PCR. 1. DNA dari tunas non transformed; 2. DNA dari tunas kenamisin resisten, tetapi ekspresi gen GUS negatif. 3. Sampel plasmid DNA dari pBl121;4 dan 5. DNA dari tunas transformed, dengan ekspresi gen GUS positif.

Gambar 8. Deteksi ekspresi gen GUS pada kecambah tanaman Arabidopsis yang ditransformasi secara in planta. Dengan cara ini dihasilkan tanaman transforman yang partial (chimera). Warna biru menunjukkan ekspresi gen GUS. Bagian tanaman yang berwarna biru menunjukkan sel-sel tanaman pada bagian tanaman tersebut mengandung gen gus tertransformasi.

Gambar 9. Kalus dan tunas (shoots) yang dihasilkan melalui kultur in vitro. A dan B pertumbuhan kalus pada media MTO. C, kalus yang terbentuk sebelum pertumbuhan tunas. D, Pertumbuhan rumpun tunas pada media MTOK. E, Pertumbuhan rumpun tunas pada media. F dan G tunas yang ditanam secara individu pada media dengan antibiotika, kanamisin. H, tunas nontransformed yang tidak dapat hidup pada media dengan kanamisin (menguning, layu, dan mati).

Gambar 10. Alat / mesin untuk analisis sequence (urutan nukleotida) DNA (kiri). Dengan menggunakan alat ini dalam sekali analisis untuk satu sampel dapat dibaca sekitar 700-900 nukleotida. Alat dengan tipe lebih baru dapat membaca urutan nukleotida DNA mencapai diatas 1000 nukleotida. Beberapa jenis alat/mesin untuk analisis PCR (Polimerase Chain Reaction) (kanan).
Transformasi Genetik Tanaman Jeruk Tahan CVPD

1. Bakteri dan Kondisi Kultur
Bakteri dan plasmid yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bakteri Escherichia coli HB 101 digunakan untuk membawa plasmid pRK2013, suatu helper plasmid yang digunakan dalam proses konjugasi triparental mating (Wirawan and Kojima, 1996). Agrobacterium tumefaciens strain LBA 4404 dengan Ti plasmid biner, pAL4404 dan pBI121 atau pMW24 digunakan dalam transformasi genetik tanaman jeruk kinkit dan karatachi. Bakteri dipelihara pada media minimal LB, YEB atau AB. Konsentasi antibiotik yang digunakan dalam media (mg/liter) adalah sebagai berikut: kanamisin (100), ampisilin (50) dan karbenisilin (500) (Kang, et al, 1992; Kang, et al, 1994).
2. Transformasi Genetik Melalui Kultur in vitro
Eksplan jeruk kinkit atau karatachi yang digunakan adalah potongan daun, potongan batang (internode stem), potongan buah muda (immature fruit), biji dan potongan kecambah steril. Media yang digunakan dalam kultur jaringan ini adalah media LS, MTO+ atau MSO+ (untuk penumbuhan kalus) dan media MS104 atau MTOK (untuk penumbuhan shoot/ perbanyakan) dengan 0,4 % agar. Untuk menumbuhkan akar digunakan rooting media yang merupakan media MSO dengan 0,3 % agar dan dengan kanamisin dan karbelisilin. Sedangkan jenis agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah agar Gellum Gum.
Bagian tanaman yang masih segar pertama-tama dicuci dengan aquades, kemudian direndam pada larutan sodium hipokhlorida 5 % dan 1 % masing-masing secara berurutan selama 5 menit. Setelah itu potongan tanaman ini dicuci dalam aquades steril sebanyak 3 kali. Air yang masih melekat pada bagian tanaman tersebut dihilangkan dengan cara menempelkannya pada kertas tissue steril. Setelah cukup kering bagian tanaman tersebut dipotong-potong. Untuk ruas batang (internode stem) dan daun potongan dibuat sangat pendek yaitu antara 0,2 – 0,5 cm. Sedangkan untuk buah muda (immature fruit), satu buah dapat dibagi menjadi 3 – 4 potongan. Untuk eksplan dari kecambah steril tidak dilakukan sterilisasi lagi. Setelah dilakukan inokulasi dengan A. tumefaciens strain LBA (pAL4404, pBI121 atau LBA (pAL4404, pMW24), potongan-potongan tanaman tersebut ditaruh/ditanam pada media yang sesuai dalam botol.
3. Transformasi Genetik secara in planta
Dengan metode ini bibit tanaman dikecambahkan dari biji. Inokulasi dapat dilakukan melalui embryo biji atau melalui pucuk kecambah tanaman jeruk kinkit atau karatachi atau nipis tanpa biji. Transformasi melalui embryo dilakukan dengan menyuntikkan atau melukai embryo dengan jarum suntik lalu diolesi dengan A. tumefaciens strain LBA (pAL4404, pBI121 atau LBA (pAL4404, pMW24) yang dikultur pada media LB agar dengan kanamisin 100 ppm. Biji yang telah diinokulasi ditanam pada media tanah steril dan dipelihara dalam rumah kaca. Transformasi melalui meristem tunas, dilakukan dengan memotong pucuk muda tunas atau kecambah yang ditanam pada media tanah steril, lalu pada ujung tanaman yang telah terpotong tersebut diolesi dengan A. tumefaciens strain LBA (pAL4404, pBI121 atau LBA (pAL4404, pMW24) yang dikultur pada media LB agar dengan kanamisin 100 ppm. Tanaman yang telah diinokulasi dipelihara dalam rumah kaca untuk dilakukan pengamatan dan seleksi transforman. Transformasi genetik dengan sistem in planta, menghasilkan tanaman transforman yang sebagian besar adalah chimera (tidak seluruh sel atau jaringan tertransformasi).
4. Mekanisme transformasi genetik A. tumefaciens
Plasmid pBI121, pIG121 atau pMW24 yang dipelihara dalam sel A. tumefaciens 4404 (pAL4404) digunakan untuk mentransformasi sel-sel tanaman jeruk kinkit atau karatachi. Mekanisme molekuler proses transfer gen dengan vektor A. tumefaciens dapat diringkas sebagai berikut: fragmen DNA NptII-GUS dipotong menjadi DNA satu rantai (ssDNA) yang kemudian pada ujung 5′ dari ssDNA tersebut berikatan protein VirD2 dan protein VirE2 menjadi selubungnya (coat protein). Kompleks DNA-protein ini disebut T-kompleks yang akan bergerak, dimana pada periplasma protein AcvB akan berikatan pada komplek ini dan mentransfernya keluar sel A. tumefaciens dan masuk ke dalam sel tanaman.
Fragmen NptII-GUS berintegrasi ke dalam genom sel tanaman sehingga tanaman transgenik ini dapat tumbuh pada media dengan kanamisin dan ekspresi gen GUS juga dapat dideteksi dari tanaman transgenik ini.
Plasmid pMW24 mempunyai konstruksi yang sama dengan pBI121, tetapi gen GUS pada pBI121 diganti dengan gen acvB. Keberadaan gen acvB ini diperlukan untuk meningkatkan frekuensi transformasi, karena protein AcvB berperan dalam proses transfer DNA ke dalam sel tanaman.
5. Tahapan Kerja Transformasi in vitro
Transformasi tanaman jeruk kinkit dilakukan sebagai berikut. Sel-sel A. tumefaciens yang dikultur selama 18 jam pada media LB atau AB (cair) dengan kanamisin 100 ppm dipanen dengan sentrifugasi, kemudian sel-sel bakteri ini dicuci 3 kali menggunakan media MS cair (steril). Sel-sel bakteri ini kemudian disuspensi dalam media MS cair dan siap digunakan untuk mentransformasi sel-sel tanaman jeruk kinkit atau karatachi pada media. Inokulasi bagian-bagian tanaman jeruk kinkit atau karatachi sebagaimana dijelaskan di atas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. dengan merendam selama 5 – 10 menit potongan-potongan tanaman tersebut dalam suspensi Agrobacterium sebelum ditempatkan pada media kultur jaringan, atau, 2. dengan menempatkan terlebih dahulu potongan-potongan tanaman tersebut ke dalam media kemudian bagian tanaman yang terpotong ditetesi 2 – 3 tetes suspensi A. tumefaciens menggunakan jarum suntik.
Inokulasi juga dilakukan menggunakan kultur padat A. tumefaciens, LBA (pAL4404, pBI121 atau LBA (pAL4404, pMW24). Biakan bakteri pada media padat ini diambil menggunakan tusuk gigi steril lalu dioleskan pada ujung potongan atau bagian eksplan yang dilukai.
Eksplan yang telah diinokulasi ditanam pada media (dalam botol) kemudian dipelihara pada suhu 25 – 28 0C selama 16 jam dalam penerangan dengan cool-white fluorescent light (Gynheung, 1985; Moore, et al, 1992). Setelah 5 – 7 hari potongan-potongan tanaman yang tetap hijau dipindahkan ke media yang mengandung kanamisin 100 ppm untuk menyeleksi sel-sel yang tertransformasi dan karbenisilin 500 ppm untuk mencegah pertumbuhan vektor Agrobacterium pada media. Pertumbuhan kalus dan atau tunas diamati secara periodik sampai beberapa minggu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan dari potongan buah muda hanya sanggup membentuk kalus dengan tingkat keberhasilan yang sangat rendah. Kalus yang dihasilkan ini tidak dapat bermultiplikasi membentuk tunas (shoot). Sedangkan eksplan dari potongan batang muda (internode stem), merupakan eksplan terbaik untuk menghasilkan tunas atau kalus, dan kegagalan karena kontaminasi sangat kecil.
Media terbaik untuk pertumbuhan tunas adalah MTOK, dan untuk pertumbuhan kalus adalah MTO+ atau MSO+. Eksplan yang ditanam pada media MTOK, umumnya membentuk kalus (pada minggu 1-2) dan kemudian dari kalus ini akan tumbuh tunas yang banyak (bergerombol). Untuk eksplan yang ditransformasi dengan A. tumefaciens, seleksi transforman akan baik dilakukan setelah pertumbuhan tunas ini. Tunas yang tumbuh bergerombol tersebut, kemudian ditanam secara individu pada media MTOK dengan 100 ppm kanamisin. Tunas yang bertahan tumbuh adalah tunas yang telah mengalami transformasi (transforman). Tunas tanaman jeruk yang dihasilkan kemudian secara bertahap dipindahkan dan dipelihara dalam media tanah steril untuk kemudian diuji ketahanannya terhadap serangan penyakit CVPD. Tanaman yang menunjukkan gejala serangan CVPD kemudian diseleksi dan dilakukan analisis lanjutan yaitu dengan analisis PCR untuk mendeteksi keberadaan patogen CVPD pada tanaman yang menunjukkan gejala tersebut.

6. Analisis Jaringan Transforman
Tunas yang dihasilkan dari kultur jaringan yang telah diseleksi menggunakan media yang mengandung kanamisin 100 ppm diuji lebih lanjut apakah telah benar-benar tertransformasi oleh fragmen DNA dari plasmid pBI121 atau pMW24. Pengujian ini dikerjakan baik dengan cara uji aktivitas gen GUS maupun uji PCR dengan mengamplifikasi fragmen DNA gen GUS (1,3 kb) menggunakan template DNA yang diisolasi dari daun atau potongan tunas yang telah digunakan dalam uji aktivitas gen GUS sebelumnya.
Adapun uji aktifitas gen GUS dilakukan sebagai berikut: ujung batang tunas yang dihasilkan dipotong pendek kemudian segera ditempatkan dalam microtiter plate yang berisi 23 µl pewarna 5-bromo-4-chloro-3-indolyl-ß-D-glucuronide (1 mg/ml) dalam buffer 0,1 M NaPO4, pH 7,0 dengan 10 mM Na2EDTA pada setiap well-nya (Jefferson, 1987). Potongan tunas ini direndam selama 4 – 5 jam pada suhu 37 0C karena perendaman yang lebih lama akan menghasilkan banyak kesalahan pada hasil. Jaringan tanaman ini kemudian dicuci dengan 100 µl campuran 95 % etanol dan asam asetat (3:1, v/v). Bagian-bagian yang mengandung aktivitas gen GUS akan terlihat dengan jelas. Sebagai kontrol negatif digunakan jaringan yang tidak ditransformasi.
Bagian tanaman yang tidak diinokulasi dengan Agrobacterium (non-transformed plant) pada kenyataannya tidak dapat tumbuh membentuk kalus atau tunas pada media dengan kanamisin, atau kalaupun tunas dapat tumbuh tetapi tidak dapat bertahan lama dan kemudian mati. Pada tanaman jeruk kinkit untuk lebih memberikan bukti bahwa tunas yang dihasilkan benar-benar tunas yang tertransformasi, dilakukan uji lanjutan yaitu uji aktifitas enzim b-glucuronidase (GUS). Ditemukan 63.8 % tunas yang menunjukkan aktifitas enzim b-glucuronidase (GUS+).
Menurut Jordan and McHughen, 1988, banyaknya tunas atau tanaman yang tahan hidup pada media dengan kanamisin dapat disebabkan oleh adanya proteksi dari sel yang tertransformasi kepada sel yang tidak tertransformasi sehingga sel-sel yang tidak tertransformasi dapat tumbuh pada media dengan kanamisin. Hal lain yang kami pikirkan adalah adanya kemungkinan sel-sel bakteri vektor (A. tumefaciens) yang masih bertahan hidup pada media yang dapat menonaktifkan kanamisin pada media, sehingga sel yang tidak tertransformasi dapat tumbuh.
Beberapa tanaman yang menunjukkan aktivitas GUS+ dianalisis lebih lanjut dengan PCR menggunakan sekuen (susunan) gen GUS sebagai primer. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua tanaman yang diuji, positif mengandung gen GUS yang berarti bahwa semua tanaman yang diuji adalah tanaman yang telah tertransformasi (transformed plants). Tanaman tranforman yang dihasilkan secara bertahap ditanam di pot dengan media tanah steril untuk kemudian dipelihara dalam rumah kaca dan siap untuk diuji ketahanannya terhadap serangan penyakit CVPD.
Uji Ketahanan Tanaman Transforman terhadap Serangan Penyakit CVPD
Uji ketahanan tanaman transforman terhadap serangan penyakit CVPD dilakukan untuk menyeleksi tanaman transforman jeruk kinkit yang berubah menjadi peka terhadap CVPD atau disebut tanaman CVPDr-s. Tanaman CVPDr-s menunjukkan bahwa tanaman tersebut telah mengalami mutasi pada gen yang berperan dalam ketahanan terhadap penyakit CVPD. Sehingga untuk mendapatkan gen tahan penyakit CVPD (gen CVPDr) dapat dilakukan dengan mengisolasi fragmen DNA yang termutasi pada tanaman CVPDr-s.
Uji ketahanan tanaman transforman terhadap serangan penyakit CVPD dilakukan dengan penularan penyakit CVPD menggunakan serangga vector D. citri. Tanaman diletakkan dalam kurungan dan diberikan beberapa ekor serangga vector yang infektif (yang mengandung bakteri penyebab penyakit CVPD). Pengamatan dilakukan selama 6-12 bulan.
Pengamatan terhadap 767 tanaman transforman yang diuji ketahanannya terhadap CVPD, ditemukan ada 2 tanaman yang menunjukkan gejala yang sangat mirip gejala serangan penyakit CVPD. Analisis PCR yang dilakukan terhadap gejala serangan ini menunjukkan hasil yang positif, artinya tanaman transforman jeruk kinkit ini memang terserang penyakit CVPD. Analisis PCR terhadap gejala serangan ini dilakukan 2-3 kali untuk lebih meyakinkan dan mendapatkan konsistensi hasil sambil menunggu tanaman menjadi lebih besar. Hasil pengulangan ini menunjukkan bahwa gejala serangan penyakit yang diamati memang benar serangan penyakit CVPD. Tanaman terebut kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mengisolasi fragmen DNA termutasi.
Isolasi fragmen DNA termutasi dengan metode Inversed PCR
Fragmen DNA pemutasi, NptII-GUS, dari plasmid pBI121 yang terselip ke dalam genom mutan tanaman CVPDr-s dilacak dengan metode IPCR menggunakan sekuen dari fragmen NptII-GUS sebagai primernya. Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer yang pernah kami gunakan pada penelitian menggunakan tanaman Kalanchoe (cocor bebek) dan mulbery yang dapat berhasil dengan baik. Sekuen primernya adalah sebagai berikut ;
F : 5′-AGA GGC TAT TCG GCT ATG AC -3′
R : 5′-GAT AGT GAC CTT AGG CGA CT -3′.
Total DNA diisolasi dari bagian tanaman CVPDr-s yang telah dikonfirmasi seperti di atas. DNA ini kemudian dipotong dengan endonuklease yang site-nya tidak terdapat pada fragmen NptII-GUS (pada penelitian ini digunakan EcoRI). Setelah itu dilakukan “self ligation” terhadap potongan-potongan DNA tersebut sehingga didapatkan berbagai ukuran DNA sirkular. Salah satunya adalah potongan DNA yang membawa fragmen NptII-GUS. Tahap selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA yang membawa fragmen NptII-GUS dengan IPCR menggunakan primer seperti tersebut di atas. Dengan teknik IPCR ini pembacaan terjadi secara terbalik yaitu mengarah keluar dari fragmen NptII-GUS sehingga amplifikasi akan menghasilkan flanking DNA dari tanaman CVPDr (jeruk kinkit) dengan hanya fragmen kecil DNA dari sekuen NptII-GUS.
Strategi Pengklonan (cloning strategy)
Fragmen DNA yang teramplifikasi yang mengandung flanking DNA dari tanaman CVPDr (jeruk kinkit) dengan fragmen kecil DNA dari sekuen NptII-GUS kemudian diklon pada plasmid pUC18. Strategi pengklonannya dilakukan sebagai berikut: pertama, dilakukan karakterisasi terhadap sisi potongan endonuklease (endonuclease restriction site) pada fragmen tersebut. Pada penelitian ini digunakan EcoRI, BamHI, dan Sac I. Pemotongan dengan Sac I ternyata menghasilkan fragmen ini relatif utuh (fragmen terpanjang, sehingga pengklonannya pada vektor plasmid pUC18 dilakukan pada sisi pemotongan SacI).
Ligasi (penyambungan fragmen DNA) dilakukan pada suhu 16 0C selama 2 jam – semalaman menggunakan enzim ligase (produk Takara). Transformasi dilakukan dengan menggunakan compitent cell, Escherichia coli JM109. Sebanyak 5 µl DNA yang telah diligasi, dicampurkan ke dalam 100 µl sel kompiten kemudian ditaruh dalam air-es selama 30 menit, lalu diinkubasi pada suhu 42 0C selama 45 detik sebelum ditambahkan 1 ml media SOC. Kemudian campuran ini diinkubasi pada suhu 37 0C selama 1 jam, untuk selanjutnya dikultur pada media agar LB yang mengandung 50 ppm ampisilin.
Deteksi dan Isolasi wild type target DNA (Gen CVPDr )
Deteksi dan isolasi fragmen wild type target DNA serta konfirmasinya dilakukan dengan metode PCR menggunakan primer yang dibuat berdasarkan sekuen partial dari flanking DNA yang telah diisolasi sebelumnya. Berdasarkan sekuen flanking DNA ini dirumuskan tiga sekuen primer yang disebut; primer 1, primer 2, dan primer 3. Total DNA dari tanaman induk, diisolasi kemudian dilakukan analisis PCR.
Program PCR yang digunakan adalah sebagai berikut; Denaturation pada suhu 94 0C selama 30 detik, annealing pada suhu 60 0C selama 30 detik dan extention pada suhu 72 0C selama 90 detik serta menggunakan siklus ulangan 26 kali. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dapat dilakukan pengulangan setelah selesai satu tahap program (double PCR).
Menggunakan ketiga primer tersebut diatas dihasilkan tiga produk PCR dengan ukuran yang berbeda, yaitu masing-masing 700 bp, 1100bp dan 841 bp. Penelitian ini juga menemukan bahwa tanaman jeruk keprok Tejakula tidak mengandung ke tiga fragmen DNA tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa gen untuk ketahanan terhadap CVPD tidak terdapat pada jeruk Tejakula
Hibridisasi Southern Blot
Konfirmasi terhadap produk PCR di atas dilakukan menggunakan metode Southern Blot. Semula cara ini direncanakan sebagai alternatif cara isolasi wild-type target DNA dari tanaman CVPDr (kinkit) namun kemudian diyakini perlu dilakukan untuk konfirmasi terhadap hasil yang telah diperoleh menggunakan metode PCR. Fragmen DNA, potongan EcoRI dari flanking DNA atau produk PCR di atas, dilabel dengan 32P digunakan sebagai probe untuk mendeteksi keberadaan fragmen tersebut pada tanaman induk (kinkit dan karatachi). Total DNA dari ke dua tanaman induk , kinkit dan karatachi, diisolasi, kemudian dipotong menggunakan EcoRI, lalu fragmen-fragmen DNA yang dihasilkan dipisahkan pada elektroforesis agarose gel, dan kemudian diblot dengan membran nylon menggunakan sistem Southern blotting, selama 16 jam atau overnight. Buffer yang digunakan dalam blotting ini adalah buffer SSC (Sambrook, et al, 1989) .
Blotting total DNA dari ke dua tanaman induk , kinkit dan karatachi, terhibridisasi oleh DNA probe yang digunakan, dan menunjukkan hibridisasi band yang sangat jelas. Sedangkan sampel DNA dari tanaman jeruk keprok Tejakula tidak terhibridisasi. Hal ini menunjukkan bahwa jeruk keprok Tejakula tidak mengandung fragmen DNA yang berhubungan dengan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit CVPD. Hasil penelitian ini sekaligus mengkonfirmasi hasil penelitian menggunakan analisis PCR.
Overekspresi pada Sel Escherichia coli dan Pembuatan Tanaman Jeruk Transgenik
Sekuen DNA terhadap fragmen 1100 bp yang dihasilkan tidak dapat menentukan adanya Open Reading Frame (ORF) yang meyakinkan, sehingga diupayakan untuk mendapatkan fragmen DNA yang lebih panjang. Penelitian menggunakan teknik running primer dan dikombinasikan dengan teknik Southern Blotting telah berhasil diisolasi fragmen DNA dengan ukuran 2500 bp. Fragmen DNA ini kemudian diklon dalam plasmid vektor pT7 Blue pada sisi pengklonan NdeI. Dua ORF ditemukan setelah fragmen DNA 2500 bp ini disekuen. Klon fragmen DNA 2500 bp dengan dua ORF ini pada plasmid vector pT7 Blue diberi nama pWR27 yang telah didaftarkan Hak Patennya di Ditjen HKI melalui Program Oleh Paten Kementerian Riset dan Teknologi RI, atas nama I Gede Putu Wirawan.
Uji overekspresi klon DNA ini dalam sel E. coli menghasil dua molekul protein dengan ukuran 17 dan 20 kDa. Penemuan ini menunjukkan bahwa ke dua ORF yang ditemukan pada sekuen DNA yang diklon adalah dua buah gen yang aktif dan berperan dalam mekanisme ketahanan tanaman jeruk terhadap serangan penyakit CVPD.
Fragmen DNA yang membawa gen diklon ulang (subklon) pada plasmid vektor biner pBI121 dan dimasukkan kedalam sel Agrobacterium tumefaciens strain LBA4404 dengan metode triparental mating. A. tumefaciens merupakan bakteri Gram negatif yang sangat baik digunakan sebagai vektor dalam membawa gen atau fragmen DNA tertentu ke dalam genom tanaman. Setelah klon ini berada dalam sel A. tumefaciens maka transformasi genetik ke dalam sel tanaman jeruk komersial (jeruk keprok atau siem atau lainnya) dapat dilakukan. Transformasi genetik untuk menghasilkan tanaman jeruk transgenik tahan penyakit CVPD dapat dilakukan dengan berbagai metode baik melalui kultur in vitro (kultur jaringan) maupun melalui metode in planta. Transformasi in planta dapat dilakukan dengan menginokulasi mata tunas yang tumbuh pada pembibitan dengan sistem grafting (penempelan). Sebagian tanaman transgenik yang dihasilkan akan berifat chimera, yaitu tidak keseluruhan bagian tanaman tertransformasi. Tetapi cara in planta ini sangat sederhana, murah dan dengan keberhasilan yang cukup tinggi (lebih dari 17 %).

Gambar 11. Skema metode isolasi wild type target DNA dengan teknik IPCR dan strategi pengklonan pada plasmid vektor. Click disini untuk animasi gambar 5.

Gambar 12. Gambar Deteksi, isolasi dan pengklonan flanking DNA termutasi pada transforman tanaman jeruk kinkit yang berubah menjadi peka terhadap serangan penyakit CPVD. A. Produk IPCR, B. Kloning flanking DNA termutasi pada vektor PUC18. ND = non-digested.

Gambar 13. Deteksi dan isolasi wild type target DNA yang mengandung gen untuk ketahanan terhadap serangan CPVD. 1 dan 3 sampel DNA jeruk kinkit; 2. ampel jeruk keprok Tejakula. 4,5 dan 6, jeruk Karatachi.

Gambar 14. Deteksi dan isolasi fragmen DNA yang mengandung gen untuk ketahanan terhadap penyakit CPVDr dari tanaman jeruk kinkit.

Gambar 15. Overkspresi klon gen CPVDr pada plamid pWR27 dalam sel E. coli. Dua molekul protein dengan ukuran 17-20 kDa terdeteksi (lajur 1-3. Sedangkan lajur 4-7 sampel protein dari sel E. Coli yang hanya membawa plasmid vector tanpa gen CPVDr)

Gambar 16. Klon Gen CPVDr dalam sel Escherichia coli dikultur pada media stok gliserol dan disimpan pada suhu -80 derajat C.

Gambar 17. Uji ketahanan terhadap penyakit CPVD pada tanaman jeruk transgenik. A Tanaman jeruk control (terserang penyakit CPVD). B. tanaman jeruk transgenic membawa gen CPVDr(tidak terserang penyakit CPVD)

Gambar 18. Beberapa tanaman transgenik hasil transformasi genetik menggunakangen CPVDr. Tanaman-tanaman ini berjumlah sekitar 200 pohon sedang diuji ketahanannya terhadap penyakit CPVD dan uji perubahan fenotipe, genotype dan kelayakan pangannya.

MEKANISME PENYERANGAN PATOGEN PADA TUMBUHAN

MEKANISME PENYERANGAN PATOGEN PADA TUMBUHAN

Patogen menyerang tumbuhan inang dengan berbagai macam cara guna memperoleh zat makanan yang dibutuhkan oleh patogen yang ada pada inang. Untuk dapat masuk kedalam inang patogen mampu mematahkan reaksi pertahanan tumbuhan inang.

Dalam menyerang tumbuhan, patogen mengeluarkan sekresi zat kimia yang akan berpengaruh terhadap komponen tertentu dari tumbuhan dan juga berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme tumbuhan inang. Beberapa cara patogen untuk dapat masuk kedalam inang diantaranya dengan cara mekanis dan cara kimia.

==============================================================================


Cara Mekanis

Cara mekanis yang dilakukan oleh patogen yaitu dengan cara penetrasi langsung ke tumbuhan inang. Dalam proses penetrasi ini seringkali dibantu oleh enzim yang dikeluarkan patogen untuk melunakkan dinding sel.

Pada jamur dan tumbuhan tingkat tinggi parasit, dalam melakukan penetrasi sebelumnya diameter sebagian hifa atau radikel yang kontak dengan inang tersebut membesar dan membentuk semacam gelembung pipih yang biasa disebut dengan appresorium yang akhirnya dapat masuk ke dalam lapisan kutikula dan dinding sel.

Skema penetrasi patogen terhadap dinding sel tanaman




=================================================================================

Cara Kimia

Pengaruh patogen terhadap tumbuhan inang hampir seluruhnya karena proses biokimia akibat dari senyawa kimia yang dikeluarkan patogen atau karena adanya senyawa kimia yang diproduksi tumbuhan akibat adanya serangan patogen.

Substansi kimia yang dikeluarkan patogen diantaranya enzim, toksin, zat tumbuh dan polisakarida. Dari keempat substansi kimia tersebut memiliki peranan yang berbeda-beda terhadap kerusakan inang. Misalnya saja, enzim sangat berperan terhadap timbulnya gejala busuk basah, sedang zat tumbuh sangat berperan pada terjadinya bengkak akar atau batang. Selain itu toksin berpengaruh terhadap terjadinya hawar.



Enzim

Secara umum, enzim dari patogen berperan dalam memecah struktur komponen sel inang, merusak substansi makanan dalam sel dan merusak fungsi protoplas. Toksin berpengaruh terhadap fungsi protoplas, merubah permeabilitas dan fungsi membran sel. Zat tumbuh mempengaruhi fungsi hormonal sel dalam meningkatkan atau mengurangi kemampuan membelah dan membesarnya sel. Sedang polisakarida hanya berperan pasif dalam penyakit vaskuler yang berkaitan dengan translokasi air dalam inang dan ada kemungkinan polisakarida bersifat toksik terhadap sel tumbuhan.
Enzim oleh sebagian besar jenis patogen dikeluarkan setelah kontak dengan tumbuhan inang. Tempat terjadinya kontak antara patogen dengan permukaan tumbuhan adalah dinding sel epidermis yang terdiri dari beberapa lapisan substansi kimia. Degradasi setiap lapisan tersebut melibatkan satu atau beberapa enzim yang dikeluarkan patogen.


Contoh bagian tanaman yang telah rusak akibat adanya enzim dari patogen tanaman.



Toksin

Toksin merupakan substansi yang sangat beracun dan efektif pada konsentrasi yang sangat rendah. Toksin dapat menyebabkan kerusakan pada sel inang dengan merubah permeabilitas membran sel, inaktivasi atau menghambat kerja enzim sehingga dapat menghentikan reaksi-reaksi enzimatis. Toksin tertentu juga bertindak sebagai antimetabolit yang mengakibatkan defisiensi faktor pertumbuhan esensial.
Toksin yang dikeluarkan oleh patogen dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu patotoksin, vivotoksin dan fitotoksin.


Patotoksin

Patotoksin ialah toksin yang sangat berperan dalam menentukan tingkat keparahan penyakit. Berdasarkan luas kisaran inangnya patotoksin digolongkan menjadi dua, yaitu spesifik dan non-spesifik. Vivotoksin dan fitotoksin umumnya bersifat non-spesifik.
Vivotoksin
Vivotoksin ialah substansi kimia yang diproduksi oleh patogen dalam tumbuhan inang dan/atau oleh inang itu sendiri yang ada kaitanya dengan terjadinya penyakit, tetapi toksin ini bukan agen yang memulai terjadinya penyakit. Beberapa kriteria yang ditunjukkan oleh vivotoksin diantaranya: dapat dipisahkan dari tumbuhan inang sakit, dapat dipurifikasi dan karakterisasi kimia, menyebabkan dari sebagian gejala kerusakan pada tumbuhan sehat, dan dapat diproduksi oleh organisme penyebab penyakit.


Fitotoksin

Fitotoksin adalah toksin yang diproduksi oleh parasit yang dapat menyebabkan sebagian kecil atau tidak sama sekali gejala kerusakan pada tumbuhan inang oleh pathogen. Tidak ada hubungan antara produksi toksin oleh patogen dengan patogenesitas penyebab penyakit.


Contoh gejala pada tanaman inang akibat toksin nonspesifik




Contoh gejala pada tanaman inang akibat toksin spesifik






Zat Tumbuh

Zat tumbuh yang terpenting yaitu auksin, giberellin dan sitokinin, selain itu etilen dan penghambat tumbuh juga memegang peranan penting dalam kehidupan tumbuhan. Patogen tumbuhan dapat memproduksi beberapa macam zat tumbuh atau zat penghambat yang sama dengan yang diproduksi oleh tumbuhan, dapat memproduksi zat tumbuh lain atau zat penghambat yang berbeda dengan yang ada dalam tumbuhan, atau dapat memproduksi substansi yang merangsang atau menghambat produksi zat tumbuh atau zat penghambat oleh tumbuhan.
Patogen seringkali menyebabkan ketidak seimbangan sistem hormonal pada tumbuhan dan mengakibatkan pertumbuhan yang abnormal sehingga pada tumbuhan yang terinfeksi oleh patogen tersebut akan timbul gejala kerdil, pertumbuhan berlebihan, terlalu banyaknya akar-akar cabang dan berubahnya bentuk batang.


Contoh gejala pembengkakan pada akar tanaman






Polisakarida

Beberapa pathogen mungkin dapat mengeluarkan substansi lender yang menyelubungi tubuh pathogen tersebut untuk melindungi diri dari factor lingkungan luar yang tidak menguntungkan. Peranan polisakarida pada penyakit tumbuhan hanya terbatas pada layu. Pada vaskuler, polisakarida dalam jumlah yang cukup banyak akan terakumulasi pada xilem yang akan menyumbat aliran air pada tanaman.

Sumber: G.N. Agrios. Plant Pathology.
A. Latief Abadi. Ilmu Penyakit Tumbuhan.